PENJATUHAN SANKSI PIDANA YANG SAMA ANTARA PERMUFAKATAN JAHAT DENGAN DELIK PERCOBAAN DALAM TINDAK PIDANA KORUPSI

Muchamad Hari Prabowo, Luthy Yustika

Abstract


Abstract

An wicked consensus occurs when a crime has been committed (over-taken) by two or more people. The problem in this study is what is the basis for the law to impose criminal sanctions against wicked agreements in criminal acts of corruption? and whether it is appropriate to equate the wicked agreement in a criminal act of corruption with a criminal act of probation so that the same crime is imposed in the Decision of the Supreme Court Number 2547 K / Pid.Sus / 2011 dated March 7, 2012? The research method used is normative juridical using secondary data. The results of the study showed that the legal basis for criminal sanctions against wicked consensus in corruption is the philosophy of establishing the Corruption Eradication Act, Constitutional Court Decision Number 21 / PUU-XIV / 2016 and Article 15 of the Corruption Eradication Act. Because corruption is an extraordinary crime, then the effort to eradicate corruption should also be done with extraordinary efforts. However, in relation to wicked agreements, it can only be applied to agreements between two or more people having special qualities as civil servants or state officials as referred to in Article 1 number 1 and Article 1 number 2 of the Law on the Eradication of Corruption.

 

Keywords: Criminal sanctions, wicked agreement, corruption crimes

 

Abstrak

Permufakatan jahat terjadi jika hal melakukan kejahatan telah diperjanjikan (overeengekomen) oleh dua orang atau lebih. Permasalahan dalam penelitian ini adalah apa yang menjadi dasar hukum dapat dijatuhkan sanksi pidana terhadap permufakatan jahat dalam tindak pidana korupsi? dan apakah tepat menyamakan permufakatan jahat dalam tindak pidana korupsi dengan tindak pidana percobaan sehingga dijatuhkan pidana yang sama dalam Putusan Mahkamah Agung Nomor 2547 K/Pid.Sus/2011 tanggal 7 Maret 2012? Metode penelitian yang digunakan adalah yuridis normatif dengan menggunakan data sekunder. Hasil penelitian memperlihatkan bahwa dasar hukum dapat dijatuhkan sanksi pidana terhadap permufakatan jahat dalam tindak pidana korupsi adalah filosofi terbentuknya Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 21/PUU-XIV/2016 dan Pasal 15 Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Oleh karena tindak pidana korupsi merupakan kejahatan luar biasa (extra ordinary crime), maka usaha pemberantasan korupsi yang seharusnya dilakukan juga dengan upaya-upaya yang luar biasa (extraordinary). Namun demikian, terkait dengan permufakatan jahat hanya dapat diterapkan terhadap kesepakatan antara dua orang atau lebih memiliki kualitas khusus sebagai pegawai negeri atau pejabat negara sebagaimana dimaksud Pasal 1 angka 1 dan Pasal 1 angka 2 Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.

 

Kata Kunci : Sanksi pidana, permufakatan jahat, tindak pidana korupsi


Full Text:

PDF

References


Daftar Pustaka

Amiruddin, Korupsi Dalam Pengadaan Barang dan Jasa, Yogyakarta: Genta Publishing, 2010.

Arianto, H. (2010). Hukum Responsif dan Penegakan Hukum di Indonesia. Lex Jurnalica, 7(2), 18013.

I Made Pasek Diantha, Metodologi Penelitian Hukum Normatif Dalam Justifikasi Teori Hukum, Jakarta: Prenada Media Group, 2016.

Jan Remmelink, Hukum Pidana: Komentar Atas Pasal Pasal Terpenting dari KUHP Belanda dan Padanannya Dalam KUHP Indonesia, Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2003.

Muliawan, A., & Caniago, C. (2010). Efektifitas Pembalikan Beban Pembuktian Dalam Tindak Pidana Gratifikasi. Lex Jurnalica, 7(2), 18002.

Putusan Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Nomor 22/Pid.Sus/TPK/2011/PN.BDG.

Putusan Mahkamah Agung Nomor 2547 K/Pid.Sus/2011.


Refbacks

  • There are currently no refbacks.


Lembaga Penerbitan Universitas Esa Unggul
Jalan Arjuna Utara No 9 Kebon Jeruk Jakarta 11510
Telp : 021 5674223 ext 266

email : [email protected]